Jingga Dalam Elegi - 11

Posted on Sunday, 26 October 2014


Cerita Remaja | Jingga Dalam Elegi | by Esti Kinasih | Jingga Dalam Elegi | Cersil Sakti | Jingga Dalam Elegi pdf

5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee Lestari Gadis Pantai - Pramoedya Ananta Toer Pendekar Rajawali Sakti - 107 Titisan Anak Setan

biru yang dipakainya menjadi satu-satunya warna berbeda di tengah dominasi abu-abu, membuat cowok itu semakin mencolok lagi.

Fio ternganga dengan napas tersentak. Seketika dia berlari pontang-panting ke tempat Tari berdiri.

"Dia ada! Gue barusan ngeliat di koridor bawah!" lapornya dengan napas terengah.

Baru saja kalimat Fio selesai, gerombolan cowok itu muncul di mulut koridor utama. Mereka kemudian pecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok segera mengisi lapangan futsal, sementara kelompok yang lain langsung merajai lapangan basket. Ari ada di lapangan basket.

Tari dan Fio langsung mengamati Ari lekat-lekat. Meskipun jarak yang terbentang lumayan jauh dan mustahil bisa melihat ekspresi muka Ari, Tari berharap bisa mendapatkan petunjuk lewat bahasa tubuh cowok itu.

Ketegangan Tari mulai menurun saat dilihatnya Ari begitu menikmati permainan basketnya. Cowok itu bahkan terlihat rileks.

"Kayaknya dia nggak tau kalo rumahnya udah ketauan, Tar," bisik Fio.

"Kayaknya," Tari balas berbisik. Kepalanya mengangguk-angguk tanpa sadar. "Syukur deh. Syukur..." Tari mendesah lega sambil menepuk-nepuk dada.

Tiba-tiba Ari mendongak dan menatap ke arah mereka. Serentak Tari dan Fio melompat mundur, menjauh dari tepi koridor.

"Dia ngeliat nggak!?" desis Tari. Langsung panik.

"Kayaknya ngeliat!" Fio mengangguk, ikut deg-degan.

"Kabur! Kabur! Buruan!" Tari balik badan dan langsung berlari menuju kelas. Fio buru-buru mengikuti.

"Emang aman?" tanyanya tak yakin. Karena memang sekolah tidak ada tempat yang aman dari Ari, kecuali kantor kepsek dan ruang guru. Sayangnya kedua ruangan itu berada nun jauh di bawah sana.

"Bentar lagi bel dan kita kan mau ulangan matematika."

Sama sekali bukan keyakinan, tapi Tari Cuma berharap ulangan matematika akan membuat Pak Yakob mengambil tindakan tegas terhadap Ari. Itu pun kalau Ari memang muncul.

Satu meter menjelang sampai pintu kelas, satu sosok berkelebat melewati Tari. Seketika ambang pintu kelas bukan lagi sebuah ruang kosong yang hanya terisi oleh udara dan gampang untuk dilalui. Sesosok tubuh telah menempatkan diri menjadi barikade di sana.

Tari langsung mengerem laju kedua kakinya kuat-kuat. Nyaris saja ditabraknya Ari. Cewek itu mundur selangkah. Raut mukanya yang menatap Ari lurus-lurus tertarik tegang.

"Ada apa lo ngeliatin gue tadi?" tanya Ari langsung.

"Siapa juga yang ngeliatin elo? Nggak usah segitu sok ngetopnya deh. Tadi di lapangan kan banyak banget orang," Tari langsung membantah keras.

Ari menyeringai. Dia mengangkat kedua alisnya, tapi tidak bicara apa-apa. Bikin Tari jadi sewot.

"Gue nggak ngeliatin elo, tau!" bantah Tari lagi. Kedua matanya melotot bulat-bulat. "Di bawah tadi banyak orang, bukan Cuma elo. Lagi pula eko segitu jauh, gimana juga bisa keliatan?"

"Kalo lo emang nggak lagi ngeliatin gue, gimana lo bisa tau gue segitu jauh? Nggak ngeliatin tapi lo bisa ngitung jaraknya ya? Hebat!" balas Ari telak. Seketika Tari merasa mukanya memanas. Ari tersenyum geli.

"Udah, ngaku ajalah. Gue emang selalu diliatin cewek kok. Jadi gue bisa mastiin, lo tadi emang lagi ngeliatin gue."

"Iya. Ngaku aja lo. Bos gue ganteng banget gini, jelas aja diliatin cewek melulu," sambung satu suara di belakang Tari. Oji. No wonder. Dia emang jongos Ari yang paling setia. "Lo nggak perlu pura-pura nggak tertarik deh, Tar. Basi, tau! Nggak bakalan ada yang ketipu."

Sontak Tari menatap Oji dengan mata membara, sementara senyum geli Ari pecah jadi tawa. Para penonton yang bisa mendengar ucapan Oji itu ikut tertawa. Bela masuk yang sebentar lagi akan berbunyi memang membuat setiap siswa berada di dalam atau di sekitar kelas masing-masing. Menciptakan, secara otomatis, jumlah penonton yang melimpah ruah.

Mereka segera memenuhi koridor dari ujung ke ujung begitu melihat kemunculan Ari tadi. Apalagi setelah melihat cowok itu memotong langkah-langkah cepat Tari dan menghadangnya di pintu kelas, jumlah penonton yang memenuhi koridor jadi semakin padat lagi. Panggilan dari teman yang berada di luar atau bahasa tubuh mereka membuat siswa-siswa yang berada di dalam kelas jadi tertarik dan bergegas keluar. Hanya di sekitar Ari dan Tari, serta dua pemain pembantu, Oji dan Fiom tercipta sedikit ruang kosong.

Beruntung, Pak Yakob muncul. Satu tangannya mengapit lembaran kertas. Disusul bel masuk kemudian berbunyi. Tatapan guru itu langsung tertuju pada Ari. Cowok itu menyingkir sekitar satu meter dari ambang pintu.

"Pagi, Pak." Ari mengangguk memberi hormat. Pak Yakob tidak menjawab. Tatapannya berubah dingin.

"Sudah bel," katanya mengingatkan.

"Bapak mau ngadain ulangan, ya?" Ari menunjuk lembaran kertas di satu tangan Pak Yakob. "Saya ikut ya, Pak? Buat pedalaman materi. Soalnya saya kan udah kelas dua belas."

Tatapan Pak Yakob semakin dingin. Sementara Oji terlihat mulai menahan-nahan senyum. "Dilarang memakai jins di sekolah!" tegur Pak Yakob dengan nada tajam.

"Wah, saya nggak akan pake cara kayak gitu, Pak," jawab Ari seketika. "Kalo nggak bisa jawab, saya lebih baik nyontek. Tanya temen kiri-kanan-depan-belakang. Atau buka buku catetan kecil di laci. Atau saya nyontek Oji, meskipun jawabannya lebih banyak yang ngaco daripada yang bener. Nggak bakalan saya tanya-tanya sama jin. Itu kan dosa, Pak. Apalagi belom tentu juga jin bisa matematika."

Ari menjelaskan dengan sikap serius. Panjang lebar pula. Seketika Oji menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyembunyikan cengiran yang benar-benar nggak bisa dia tahan. Secepat mungkin kemudian dia berusaha melenyapkan cengiran itu dari mukanya.

Bukan apa-apa, Pak Yakob ada pas di depan mukanya. Nyengir di depan muka guru, gara-gara temen bikin ulah pula, sumpah, itu kurang ajar banget. Sama sekali nggak hormat sama guru!

Sementara itu senyum lebar dan tawa tertahan seketika juga bermunculan di wajah penonton yang bisa mendengar ucapan Ari itu. Mereka menatap dengan ekspresi semakin tertarik. Sama sekali tak peduli bel masuk yang sudah berbunyi.

"Ehem," Oji berdehem pelan. "Maksudnya celana jins, Bos. Bukan jin yang cs-annya dukun atau jin yang suka nongkrongin pohon," Oji menjelaskan dengan sikap serius juga.

"Ooooh." Ari berlagak baru ngeh. Kemudian dia menundukkan kepala, memandangi celana jins birunya. Ketika cowok itu mengangkat kembali kepalanya, senyum lebar menghiasi bibirnya. Kontras dengan bibir kaku dan pandangan kedua mata Pak Yakob yang semakin dingin.

Sementara itu Bu Sam, yang mendapat laporan bahwa Ari melakukan pelanggaran lagi-memakai celana jins ke sekolah, berwarna biru pula-sudah sejak tadi mencari-cari salah satu anak didiknya itu. Sebuah penggaris kayu yang siap dia pukulkan tergenggam di tangan kanan. Begitu dilihatnya koridor kelas sepuluh begitu penuh dengan para siswa padahal bel masuk sudah berbunyi, Bu Sam langsung tahu di mana dia bisa menemukan murid paling bermasalah itu.

Guru penegak peraturan itu bergegas melangkah menuju tangga. Dinaikinya anak tangga dua-dua sekaligus. Sesampainya di koridor kelas sepuluh, dengan ujung penggaris kayu diketuk-ketuknya punggung siswa yang berdiri paling belakang, meminta jalan dengan paksa.

Dengan segera tercipta jalan untuk Bu Sam, karena siswa yang punggungnya diketuk ujung penggaris tadi segera memberitahu teman-teman sekitarnya. Memunculkan pesan berantai yang bergerak cepat.

Mata para penonton yang mengetahui kedatangan Bu Sam mengikuti guru itu dengan ekspresi semakin tertarik. Tanpa satu sama lain tahu, dalam hati mereka sama-sama berharap kejadian kayak begini bisa terjadi setiap pagi. Lumayan banget buat seger-segeran sebelum jam pelajaran panjang yang sering bikin frustasi.

Begitu tercipta akses, dengan geram Bu Sam menghampiri Ari. Penggaris kayu di tangan kanannya dalam keadaan siap untuk dihantamkan ke murid paling bandel itu, yang langsung dilakukannya begitu sang murid sudah berada tepat di depan mata.

"ADUH!!!" Ari memekik begitu penggaris kayu itu mendarat dengan keras di salah satu lengannya. Seketika dia menjauh dua langkah begitu tahu pukulan yang datang tiba-tiba itu berasal dari penggaris kayu tebal di tangan wali kelasnya.

"Ibu nanti saya laporinke Komnas Anak ya. Saya bilangin ke Kak Seto kalo Ibu udah melakukan penganiayaan terhadap anak-anak."

"Anak-anak yang mana?" tanya Bu Sam dengan kedua mata melotot galak. "Saya kan bisa dibilang masih anak-anak."

"Bangkotat begini bilang masih anak-anak?!" Saking kesalnya, Bu Sam sampai lupa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Tawa Ari kontan meledak.

"Ibu kasar ih. Nggak memberikan teladan yang baik. Di depan anak-anak kelas sepuluh nih, Bu."

"Kamu kira apa yang kamu lakukan sekarang ini memberikan teladan yang baik untuk adik-adik kelas?" Penggaris kayu di tangan Bu Sam menunjuk celana jins biru yang dipakai Ari.

"Sekarang salah siapa coba dong, Bu? Pihak sekolah kan Cuma ngasih celana seragam dua potong. Saya tadi udah bilang ke Pak Yakob, celana seragam saya kotor dua-duanya. Belum dicuci. Masa saya mesti pakai celana kotor ke sekolah? Kan bisa ken a penyakit kulit. Kalau Cuma panuan di kaki atau tanga n sih nggak pa-pa. Nah, kalo aset saya yang kena, gim ana? Kan bisa menghancurkan masa depan."

Tari ternganga. Emang bener-bener gila ni cowok! ucapnya dalam hati. Nggak hormat banget sama guru!

Sama seperti Tari, melihat sikap Ari itu tak urung para penonton yang seluruhnnya siswa kelas sepuluh itu terpukau dengan cara mereka masing-masing. Ada yang berdecak sambil geleng-geleng kepala. Ada yang diam tapi kedua matanya menyorotkan kekaguman yang tak tersembunyikan. Ada yang tersenyum-senyum geli. Tapi ada juga yang menatap Ari dengan sorot tidak suka, karena menganggap tindak-tanduk cowok itu sudah kelewatan. Tapi yang terakhir ini jumlahnya hanya segelintir.

Sejak awal Bu Sam sadar, percuma berdebat dengan Ari. Hanya akan membuat proses belajar-mengajar di semua kelas sepuluh terhambat. Dibantu Pak Yakob dan semua guru kelas sepuluh yang mengajar pada jam pertama, Bu Sam memerintahkan semua siswa kelas sepuluh yang memenuhi koridor itu untuk masuk ke kelas masing-masing.

Sambil memandang Ari dengan ekspresi puas, Tari melangkah menuju pintu kelas yang tadi musykil bisa dilewatinya karena dibarikade cowok ini. Ari tersenyum lebar. Terlihat tawa geli melihat ekspresi kemenangan Tari itu. Masih dengan senyum geli, kemudian ditinggalkannya tempat itu, karena Bu Sam mulai mengetuk-ngetukkan ujung penggaris kayu ke punggungnya.

***

Bel pergantian pelajaran berbunyi. Begitu Pak Yakob keluar ruangan, Tarilangsung merapatkan tubuhnya ke Fio dan bertanya dengan suara berbisik.

"Gimana? Menurut lo Kak Ari tau nggak kalo rumahnya udah ketauan? Feeling gue sih nggak."

"Kayaknya nggak," Fio mengangguk. Menjawab juga dengan bisikan. "Karena kalo dia tau, lo udah dia cekek tadi. Sampe mati, kali."

"Iya sih. Bukan nggak mungkin."

"Iyalah. Gue rasa itu rahasianya yang terbesar setelah fakta kalo dia punya kembaran. Makanya nggak ada yang berani coba-coba cari tau, kan? Jadi kalo ada orang yang berhasil tau, apalagi berhasil taunya karena usaha bukan karena nggak sengaja, gue rasa bakal langsung dia matiin tu orang."

"Mending kalo Cuma dimatiin. Gue rasa abis itu bakalan dimutilasi."

Praduga yang sangat berlebihan itu membuat kedua mata cewek itu berpandangan lalu bergidik bersamaan.

"Aduh, untung gue masih selamet," desah Tari lega sambil mengelus-elus dada.

"Makanya, Tar... Udah deh, nggak usah ke sana lagi. Jangan cari gara-gara."

"Iya. Gue juga nggak segitu nekatnya, lagi. Tapi jujur, gue masih penasaran sih. Sayang banget. Padahal satu kali lagi aja cukup."

"Udaaaah!" Fio melotot. "jangan gila deh lo!"

"Iyaaa. Iyaaa." Tari meringis.

Setelah memperoleh paling tidak persamaan dugaan bahwa situasi masih aman, Tari jadi tenang. Begitu bel istirahat berbunyi, dia bergegas keluar kelas menuju koridor depan gudang.

"Aman, Ta. Kayaknta Kak Ari nggak tau kalo rumahnya udah ketauan," lapornya langsung begitu

telepon di seberang di angkat. "Yakin lo?" tanya Ata ragu.

"He-eh. Soalnya tadi pagi gue liat dia biasa-biasa aja. Nggak kayak orang yang salah satu rahasianya udah kebongkar. Terus pas gue ketangkep basah lagi ngeliatin dia, dia juga Cuma gangguin gue gitu aja. Masih lebi
Read more about Jingga Dalam Elegi - 11



Related read :

Jingga Dalam Elegi - 19
Cerita Remaja | Jingga Dalam Elegi | by Esti Kinasih | Jingga Dalam Elegi | Cersil Sakti | Jingga Dalam Elegi pdf 5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee
Jingga Dalam Elegi - 37
Cerita Remaja | Jingga Dalam Elegi | by Esti Kinasih | Jingga Dalam Elegi | Cersil Sakti | Jingga Dalam Elegi pdf 5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee
Jingga Dalam Elegi - 17
Cerita Remaja | Jingga Dalam Elegi | by Esti Kinasih | Jingga Dalam Elegi | Cersil Sakti | Jingga Dalam Elegi pdf 5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee
10 Hal Dalam Mitologi yang Ternyata Memang Benar-Benar Ada
10 Hal Dalam Mitologi yang Ternyata Memang Benar-Benar Ada Dalam dunia modern ini ada banyak sekali cerita, kisah hingga hal-hal mistis atau mitologi yang muncul dalam berbagai bentuk seperti film,