advertise with ongsono.com
 

Cinta Sang Naga - 3

Posted on Sunday, 19 October 2014


Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf

Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka

at tertarik ke satu arah tertentu. Entah kenapa sampai ke sana ia juga tidak tahu. Ia memandang ke bawah taplak meja, terus melampaui beberapa meja lainnya, sampai ke satu meja tertentu. Di kolong meja itu ada pemandangan yang berbeda daripada biasanya. Di sana ada tiga pasang kaki. Dua pasang tertutup celana panjang, sedang yang sepasang nampak mulus putih karena pemiliknya bergaun. Tapi salah sebuah kaki yang mulus putih itu tidak menapak ke lantai, melainkan ditumpangkan ke atas paha yang bertutup celana panjang di sebelahnya. Di atas kaki mulus putih itu nampak sebuah tangan bergerak-gerak. Pasti tangan itu milik orang yang pahanya ketumpangan si kaki mulus putih.

Bagi Henson, pemandangan itu tentu saja bukan persoalan serius. Banyak tamu yang suka bertingkah mesra sambil makan. Tapi pada saat ia menegakkan tubuh kembali dan tetap menujukan pandangnya ke arah yang sama segera diketahuinya siapa saja pemilik kaki-kaki tadi. Kaki mulus putih dimiliki Nyonya Linda, sedang paha yang ketumpangan adalah milik Peter Lim!

Henson kaget. Sedikit pun persangkaannya tak ke sana. Tapi dengan cepat wajahnya menjadi biasa lagi, seolah tak melihat apa-apa. Tapi ia sempat melayangkan pandang ke sudut dekat pintu, di mana ketiga dara duduk. Irma sedang menatapnya. Segera Henson mengangguk kecil, hampir tak terlihat. Tapi Irma pun cepat memalingkan pandangnya lagi. Sikap Irma seolah acuh tak acuh.

Namun Henson merasa, Irma sudah cukup lama memperhatikan gerak-geriknya.

Setelah memberikan instruksi kepada salah seorang anak buahnya untuk mengganti sendok tamu yang jatuh tadi, Henson beranjak ke belakang.

Sementara itu, di ruang makan perhatian para tamu sedang tergugah ke satu arah. Irma bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi semampai nampak menjulang. Celana jeansnya yang biru berpadu dengan blus merah jambu berkotak-kotak. Gagah dan sportif, tapi toh tetap feminin. Para tamu terpukau lalu memandang tanpa risi dan segan. Sepertinya dengan makan di situ maka mereka pun berhak memandang sepuas hati.

"Aku mau ke belakang dulu," kata Irma kepada kedua kakaknya.

Keduanya cuma mengangguk acuh tak acuh. Mereka pun tidak mempedulikan sikap para tamu. Mungkin juga sudah terlalu biasa diperhatikan dan dipandangi sehingga tidak merasa apa-apa lagi.

Irma berjalan dengan cepat ke belakang. Gerakannya gesit. Langkahnya panjang-panjang sesuai ukuran kakinya. Dengan mengenakan celana panjang dia memang jadi kelihatan lebih tinggi, lebih semampai. Banyak tamu pria yang menahan napas mereka sewaktu memandangi Irma. Ada yang sudah selesai makan tapi tak mau pergi dulu, karena menunggu saat Irma kembali ke mejanya. Mudah-mudahan saja tidak lama.

***

Henson berada di gudang. Ia sudah mempunyai rencana untuk mengadakan inyentarisasi sekaligus pembersihan gudang. Tidak hanya barang-barang baru dan bekas yang tersimpan di situ, tapi juga barang rongsokan. Suatu kejorokan yang bisa menyusahkan nanti. Rencananya itu sudah disetujui Tuan Liong. Tapi pengerjaannya sudah tentu tidak bisa dilaksanakan pada jam-jam sibuk seperti saat itu. Sekarang ia cuma memanfaatkan waktu luangnya untuk sekadar melihat dan mengatur rencana pelaksanaannya nanti. Pintu terbuka. Irma melangkah masuk. Henson membalikkan tubuhnya dengan cepat dan wajahnya segera menjadi cerah. Ekspresinya mele mbut dan matanya berbinar. Ia tersenyum.

"Sudah kuduga, kau ada di sini," kata Irma, tersenyum juga.

"Oh, kau mencariku?" tanya Henson sambil mendekat. Suaranya perlahan. Ia tak ingin kedengaran orang lain.

"Ya," sahut Irma, perlahan juga. "Ada yang mau kutanyakan."

Henson berdiri sangat dekat. Keduanya dapat merasakan hembusan napas masing-masing. Mereka berpandangan sejenak. Tatapan keduanya seolah saling mengait tak mau lepas. Ada daya tarik yang membangkitkan pesona.

Akhirnya Irma menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Ia menunjuk pintu. Henson mengangguk, mengerti maksud Irma. Ia bergegas ke pintu, membukanya sedikit lalu menutupnya kembali. Kemudian cepat-cepat ia mendekati Irma lagi dan tanpa mengatakan apa-apa ia memeluk Irma yang membalasnya dengan pegangan kuat. Keduanya sama melepaskan napas panjang seakan momen seperti itu telah memberi mereka kelegaan yang amat sangat. Tapi setelah ciuman singkat keduanya cepat melepaskan pelukan.

"Ada apa?" bisik Henson.

Irma melirik ke pintu. Buru-buru Henson kembali mengintip seperti tadi. Ia menggelengkan kepalanya tanda aman.

"Kau kenapa tadi? Kulihat wajahmu agak aneh sewaktu membungkuk-bungkuk tadi. Apa yang kaulihat di kolong?" tanya Irma tak sabar.

"Ah, matamu tajam. Tapi... kupikir soal itu tidak perlu kuberitahukan padamu," kata Henson ragu-ragu. Pertanyaan Irma itu terlalu mendadak dan di luar persangkaannya. Ia belum siap mencari jawaban. Lebih dari itu, ia juga tidak tahu apakah cukup bijaksana bila ia berterus terang. Tapi keraguannya malah membuat Irma semakin penasaran.

"Ayo dong ceritakan. Aku tahu, pasti ada sesuatu. Semakin kausembunyikan, semakin penting. Ayo, jangan sok, ya," Irma merajuk.

Terpaksa Henson menceritakan apa saja yang dilihatnya di kolong meja barusan. "Tapi, sebaiknya kau tidak usah resah. Itu urusan ibumu, eh, Nyonya Linda, sepenuhnya," hiburnya di akhir cerita.

Tapi wajah Irma yang mungil nampak serius.

"Oh, jadi Oom Peter itu punya hubungan dengan Mama," gumamnya.

"Jangan beritahu ayahmu, Ir." "Untuk sementara ini tidak. Ah, nantilah kita bicarakan lagi. Aku sudah terlalu lama pergi."

Henson memberi ciuman kilat di pipi Irma sebelum gadis itu beranjak ke pintu.

Tapi baru saja Irma merapatkan pintu, ia melihat ibunya mendatangi. Irma terkejut, dan wajahnya segera membersitkan warna merah. Nyonya Linda menatap tajam padanya dengan kening berkerut. "Ngapain kau di situ?" ia bertanya.

"Oh, saya... sedang melihat-lihat barang, Ma," jawab Irma gugup.

"Barang apa?" Nyonya Linda belum puas.

"Ah, iseng saja, Ma," jawab Irma sambil melangkah terburu-buru.

Walaupun Nyonya Linda tidak bertanya lagi, tapi untuk beberapa saat lamanya ia tetap berdiri di tempatnya dengan wajah berkerut. Setelah Irma tak kelihatan lagi, ia bergegas menuju gudang. Lalu dengan sentakan mendadak ia membukanya. Di dalam ia melihat Henson yang kaget dan salah tingkah.

"Tadi Non Irma ke sini?"

"Ya, Nya," jawab Henson tanpa ragu-ragu. Ia cukup cerdik untuk memperkirakan bahwa Nyonya Linda pasti sudah tahu.

"Mau apa dia ke sini?"

"Non menanyakan rencana saya untuk membereskan gudang ini, Nya," sahut Henson dengan hormat.

"Emangnya Tuan sudah tahu tentang rencanamu itu?"

"Sudah, Nya. Tuan sudah setuju."

"Hem. Heran, gudang sudah beres begini kok mau dibereskan lagi."

"Barang-barang rongsokan itu sebaiknya dibuang atau disingkirkan saja, Nya. Kotor. Banyak kecoa jadinya. Saya khawatir kalau-kalau ada pemeriksaan nanti."

"Wah, jauh betul pemikiranmu. Paling-paling yang diperiksa cuma dapur dan ruang makan. Mana mungkin mereka mau masuk ke gudang segala. Mereka juga nggak tahu bahwa ini gudang."

"Tapi siapa tahu mereka menanyakan, nya. Kalau semua bersih, kan nama baik restoran kita jadi meningkat."

"Apa katamu? Restoran kita? Emangnya, ini restoran kamu juga?" sindir Nyonya Linda dengan tajam.

Wajah Henson memerah. Tapi ia diam dan memandang ke bawah. Diakuinya ia sudah salah bicara. Mungkin ia terlalu semangat berbicara. Atau terlalu berlega hati, karena pertanyaan Nyonya Linda perihal Irma sudah beralih. Biarlah ia disindir dan dikasari asal jangan dicurigai dalam hal yang satu itu. Toh ia sudah cukup kenyang menerima perlakuan seperti itu. Ia sadar betapa antipatinya Nyonya Linda kepadanya. Tentu saja ia sendiri bukan tak jengkel, balikan kadang-kadang bencinya tak kepalang, tapi pikiran tentang Irma selalu bisa menenangkan. Biar saja.

"Kuingatkan kau. Son. Jangan jadi besar kepala mentang-mentang dipercaya Tuan."

"Tidak. Nya."

Henson tetap memandang ke bawah, b erdiri tegak dengan kedua tangan di belakang punggun g. Sikapnya seperti orang yang siap menerima hukuma n tanpa protes. Ya, hukuman apa saja. Kalau diperhatik an sesungguhnya sikap itu menggelikan. Sikap yang ter lalu rendah hati itu bisa juga diartikan sebagai cemooh an. Tapi nyonya Linda tidak menyadari hal itu.

Untung Henson tidak menatap ke wajah Nyonya Linda, karena ekspresi Nyonya ini penuh kebencian. Dan juga penuh selidik. Ingin sekali nyonya Linda menemukan kesalahan Henson, agar dapat segera mendepaknya pergi. Coba kalau laki-laki ini berani melawan, atau kurang ajar misalnya, dia dapat mengadukannya kepada sang suami. Kalau perlu bisa ditambahi bumbu supaya lebih seru. Tapi laki-laki ini ternyata begitu lembek.

"Dan ingat, Son. Jangan suka dekat-dekat pada Non Irma!"

Barulah Henson kaget. Tapi ia berusaha keras agar tidak mengangkat mukanya untuk menatap Nyonya Linda, padahal ia ingin sekali berbuat begitu. Ia ingin tahu apa alasan Nyonya Linda di balik peringatannya. Mungkin di mata atau wajahnya bisa terbaca. Tapi Henson tidak berani, ia takut nanti menemukan kesimpulan yang lebih mengejutkan lagi.

Nyonya Linda berlalu, meninggalkan beban di hati Henson.

Ketika Henson kembali ke ruang makan, ia melihat Irma sudah disibukkan kembali oleh tugasnya di sisi kedua kakaknya. Dan Nyonya Linda sudah duduk kembali menemani tamu yang lain. Kali ini sepasang suami istri. Sedang Tanujaya dan Peter sudah tak kelihatan lagi.

Suasana masih tetap ramai, tapi tak seramai saat-saat sebelumnya. Ada beberapa meja yang kosong meskipun tamu masih saja berdatangan. Silih berganti mereka datang dan pergi.

Tiba-tiba terdengar jeritan keras seorang wanita. Jeritan itu melengking nyaring, sangat mengagetkan. Semua orang tertegun, terpaku, lalu sama menoleh ke arah sumber suara.

Di salah satu meja, seorang wanita masih saja menjerit histeris walaupun suaranya tak lagi sekeras permulaan. Dia meraung dengan mata membelalak ngeri menatap piringnya. Sesudah itu, ia memalingkan mukanya dari meja, menunduk lalu muntah-muntah dengan mengeluarkan suara keras seakan berusaha untuk mengeluarkan segenap isi lambungnya!

Henson berlari ke sana. Irma menyusul. Mereka berdua paling dulu tiba dibanding yang lain. Bila Irma segera menolong sang wanita yang muntah-muntah, Henson buru-buru menyambar piring yang terletak di depan wanita itu. Matanya yang tajam cepat menangkap sumber keributan yang terletak di atas piring tersebut. Seekor kecoa! Makhluk menjijikkan itu sudah mati. tersiram kuah dan berbaur dengan sayur capcay! Sepintas lalu dia tidak nampak nyata k arena masakan itu terdiri dan berbagai macam sayuran dan daging. Tapi sudah jelas tidak ada satu restoran p un yang sengaja menyertakan kecoa ke dalam masak an capcay-nya! Bila bekicot sudah naik derajat jadi ma kanan tergolong elit, tidak demikian halnya dengan kec oa.

Tanpa tanya-tanya lagi, Henson segera menyerahkan piring tersebut kepada salah seorang anak buahnya dan menyuruhnya agar membawa-nya pergi. Ia sadar piring itu harus disembunyikan dari mata para tamu lain. Sesudah itu dengan sigap ia mendekati pasangan si wanita yang malang tadi, mungkin juga suaminya. Momennya tepat, karena pada saat itu sang suami sudah merah padam wajahnya, siap meledakkan amarahnya tanpa peduli pada situasi dan kondisi. Sementara itu, Irma dengan didampingi Lili mengajak serta membimbing wanita tadi ke ruang dalam.

"Mari, Tuan, kita selesaikan masalahnya di dalam?" Henson berkata pelan dengan ramah dan wajah penuh sesal. Di belakangnya berdiri Nyonya Linda dengan sikap bingung. Ia pun sudah tahu karena sempat melihat isi piring yang terburu-buru dibawa ke belakang tadi. Hal itu membuat ia takut, karena sadar betul apa akibatnya kalau semua tamu sampai tahu. Sedang situasi semacam itu belum pernah ia alami.

"Mari, Tuan? Kami menyesal sekali," Henson mengulangi ajakannya dengan suara yang diperkirakannya hanya bisa didengar oleh pria di depannya. Dan tentu saja juga oleh Nyonya Linda yang berdiri di dekatnya.

Kemarahan pria itu pun mereda. Apalagi istrinya pun sudah berjalan ke ruang dalam dengan dibimbing oleh Irma dan Lili.

Ketabahan Henson menumbuhkan keberanian Nyonya Linda. Ia ikut membujuk tamu pria itu. Akhirnya, si tamu berdiri dan melangkah menyusul istrinya. Di belakangnya, Henson dan Nyonya Linda bergegas mengiringi.

Sementara itu, lant
Read more about Cinta Sang Naga - 3



Related read :

Cinta Sang Naga - 38
Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade
Sang Pengintai - 12
Cerita Misteri | Sang Pengintai | Serial Kelompok 2 & 1 | Sang Pengintai | Cersil Sakti | Sang Pengintai pdf 5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee Lestari
Tarian Liar Naga Sakti - 214
Cerita Silat | Tarian Liar Naga Sakti | by Marshall | Tarian Liar Naga Sakti | Cersil Sakti | Tarian Liar Naga Sakti pdf Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki
MENJALIN CINTA ABADI DALAM RUMAH TANGGA
Sesungguhnya semua insan perlukan kasih sayang untuk bahagia. Anak perlukan kasih ibu, ibu dan bapa juga perlukan kasihsayang anak-anaknya. Suami ingin dikasihi, isteri ingin dibelai