advertise with ongsono.com
 

Cinta Sang Naga - 30

Posted on Monday, 20 October 2014


Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf

Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes

i meja. Mereka berpegangan tangan sebentar. Mata Asrul pun terarah ke situ. Ia tersenyum maklum. Mau tak mau timbul rasa iri. Ah, kapan tiba gilirannya?

"Begini. Son. Kalian berdua diminta datang oleh Pak Dermawan." kata Asrul. "Jangan kaget dulu. Dia ingin mengajak kalian berdiskusi tentang masalah itu."

"Oh. kapan?"

"Siang ini juga."

"Jadi masih ada waktu untuk mendengarkan cerita Irma." Henson mengingatkan sambil menekan tangan Irma.

"Wah, kau belum dengar? Aku sudah. Cerita-nya seru," goda Asrul.

Irma tertawa, lalu buru-buru bercerita sebelum Henson meledakkan ketidaksabarannya. "Son, kaulihat pintu itu? Dari sini daun pintu yang sebelah sana itu persis berhadapan. Kita bisa melihat kacanya. Di sini Papa duduk dan terus duduk sampai kemudian ia ikut keluar untuk melongok sebentar, lalu kembali lagi ke sini ramai-ramai dengan kita semua. Nah, pada saat Papa duduk sendiri itu apa saja yang dilakukan-nya? Aku pikir, itu saat paling penting. Kita tahu, sebelum terjadinya ribut-ribut di luar pintu itu dia tidak apa-apa. Dia sehat-sehat saja. Padahal dia sudah minum dari gelas yang sama. Jadi pastilah pada saat ia sedang sendirian itu ia memasukkan racun ke dalam gelas minumnya."

Ketika Henson masih termenung memikirkan, Asrul nyeletuk, "Lagi-lagi teori bunuh diri."

"Tapi itu cocok dengan racun yang ada di sakunya. Bang!"

"Kau lupa, ada satu orang yang juga punya kesempatan karena sendirian di ruang ini. Peter!" kata Asrul bangga.

Irma menggelengkan kepala. "Apakah dia juga mengantungi racun? Mustahil. Dia juga tidak punya alasan membunuh Papa."

"Tapi, dia dengan ibumu kan...?"

"Ya, memang betul. Toh aku yakin, perbuatan itu cuma keisengan belaka dari pihaknya. Tidak sampai begitu serius sampai mau menyingkirkan Papa. Dia sudah kaya, punya istri dan anak-anak. Dan jangan lupa, kesempatannya sendirian itu hanyalah suatu kebetulan belaka, hingga tak mungkin baginya untuk mengatur rencana. Kalau dia memang berniat menyingkirkan Papa pasti tidak di situ."

"Tapi buat ayahmu kesempatan itu juga suatu kebetulan," ujar Asrul masih penasaran.

"Buat Papa, kebetulan itu lebih gampang dicarinya. Bukankah dia tuan rumah di sini? Kalaupun di saat itu ia tidak memperoleh kesempatan, ia bisa mencari kesempatan lain, kan? Ia bisa menyendiri di kamar atau di ruang lain.

Pendeknya rencana itu sudah ada melihat racun di sakunya itu."

"Tapi, kenapa justru pada saat itu? Dan bukan pada saat lain?"

Irma termenung. Ia melirik kepada Henson yang sedang merenung dengan pandangan ke arah pintu. Sepertinya Henson tidak mendengar perbincangannya dengan Asrul yang seru itu. Ia asyik dengan pikirannya sendiri. Irma jadi tersenyum. Pastilah jalan pikiran Henson sama. Padahal ia belum menceritakan apa saja kesim-pulannya tentang pintu itu. Ya, biarkan sajalah Henson menemukan sendiri.

"Nah, kenapa justru pada saat itu, Irma?" Asrul mengulangi pertanyaannya, seolah Irma adalah Tuan Liong sendiri yang bisa ditanyai langsung.

"Bang Asrul tentu kenal sifat gunung berapi. Ya, kan? Orang awam kan tidak tahu persis kapan dia mau meledak, dan apakah dia memang akan meledak. Tahu-tahu, bledug! Tapi toh sebetulnya ada gejala sebelumnya. Ya, kan? Nah, semakin meningkat gejala itu, semakin dekat saat meledaknya. Papa juga begitu. Oh, heran juga aku, kok bisa ngomong begini tanpa rasa sedih lagi. Tapi ya, memang begini kenyataannya. Pada hari itu, saat itu, Papa kelihatan lain. Barusan saja Lili menyampaikan padaku perihal cerita Yeni. Ya, Yeni cuma mau bercerita pada Lili, tidak padaku. Barangkali nanti sama Bang Asrul dia mau mengulang ceritanya. Begini. Beberapa saat menjelang para tamu datang malam itu, Yeni berpapasan dengan Papa yang jalannya terburu-buru dan wajahnya muram. Kata Yeni, belum pernah dia melihat Papa semuram itu. Dan kemudian tak jauh dari tempat ia berpapasan dengan Papa ia melihat Mama sedang berdiri mematung dengan pandang yang sama anehnya. Ia bilang, Mama bengong saja seperti orang hilang ingatan. Sepertinya kaget, takut, atau bagaimana. Ah, kautanyakanlah lagi sendiri. Tapi ia yakin, bahwa kedua orang itu, Papa dan Mama, barusan terlibat dalam suatu ketegangan yang tentunya hanya diketahui mereka berdua saja. Dan kalau kupikirkan lagi kemudian, maka semuanya jadi cocok. Kira-kira sesudah pertemuannya dengan Yeni itu, tentunya Papa kemudian menemukan aku dan Henson di gudang. Wah, bisakah kaubayangkan kalau Papa itu gunung berapi? Sedang racun itu berada dalam jangkauan tangannya." Irma mengakhiri ceritanya dengan sedih. Padahal semula ia penuh semangat. Kemudian ia merasakan tangan Henson erat memegangnya. Rupanya pikiran Henson sudah kembali.

Asrul manggut-manggut. Ia mengagumi Irma. "Sampaikanlah cerita itu kepada Pak Dermawan nanti."

"Ya," jawab Irma, dan matanya kembali mengarah ke pintu.

"Kau tetaplah duduk di sini, Ir," kata Henson sambil berdiri. lalu ia berjalan pelan-pelan menuju pintu dengan pandangan mengarah kepada kaca.

Di belakangnya Irma dan Asrul memperhatikan.

"Dia sudah mengerti apa yang kaumaksudkan. Padahal belum kaujelaskan," kata Asrul.

"Ya. Dan rupanya kita bakal sepaham."

"Kau cerdik bisa berpikir ke situ."

"Tapi itu baru suatu kemungkinan. Belum pasti mengarah ke mana dan kepada siapa."

"Bagaimanapun, itu bagus sekali."

Kemudian mereka memperhatikan Henson tanpa berbicara. Agak lama Henson berdiri di ambang pintu dengan kepala miring ke sebelah kanannya, ke arah kaca. Lalu ia berbalik dan cepat-cepat kembali ke sisi Irma.

"Tidak begitu jelas bayang-bayangmu di kaca itu. Maklum matahari memantul. Tapi malam hari pasti jelas. Ya, malam itu," kata Henson.

"Jadi kau sepaham, kan?"

"Ya. Kau pintar, Irma. Apa sudah kaulihat sendiri tadi?"

"Itu cuma kebetulan saja. Mula-mula kuminta Mama agar duduk di sini, supaya aku bisa mencari tahu. Tapi Mama menolak dengan sikap ketakutan. Lantas ada Bang Asrul. Kita saling coba tadi." Asrul manggut-manggut. "Pada waktu itu, kalian berada di sebelah depan. Aku di belakang kalian. Tidak jelas memang urut-urutan semua orang karena bergerombol begitu. Aku tidak ingat siapa yang berada di sebelah atau di belakangku.

Tapi yang jelas aku sama sekali tidak melihat ke arah kaca itu. Saat itu aku berdiri melampaui ambang pintu. Jadi yang bisa melihat adalah mereka yang berdiri paling belakang, belum melewati ambang pintu. Ya, kalau mereka melihat ke arah kaca pasti mereka bisa melihat Tuan Liong di situ!"

"Lalu bisa melihat juga apa saja yang dilakukannya. Dia adalah saksi mata!" Irma melanjutkan dengan bersemangat.

"Tapi tidak ada yang mengaku bahwa ia telah melihat sesuatu yang seperti itu. Entah memang tak ada yang melihat atau diam-diam saja." Asrul menyayangkan.

"Mungkinkah memang tak ada yang melihat? Padahal orang sebanyak itu. Dan hampir pasti mereka yang berada di luar bersamaku waktu itu tak sampai separuhnya," kata Henson sambil mengingat-ingat.

"Kalau memang ada yang melihat kenapa ia diam-diam saja? Dia kan tidak perlu takut. Justru dengan memberi kesaksian dia jadi berjasa. Hanya ada satu kemungkinan dalam hal itu, Son. Orang yang tahu tapi berdiam diri pasti menganggap bahwa sikap itu lebih menguntungkan dirinya dibandingkan kalau dia bicara," Irma menyimpulkan.

"Ah, orang yang bodoh!" Asrul menggerutu.

"Belum tentu bodoh, Rul. Bisa jadi malah sebaliknya!" kata Henson.

"Sudahlah. Kepalaku jadi pusing. Sebaiknya kita berangkat sekarang," ajak Asrul.

Sewaktu mereka pamitan pada Nyonya Linda, ia nampak keberatan karena katanya masih banyak pekerjaan untuk Henson. Tapi ketika Asrul men gatakan bahwa itu merupakan panggilan polisi, ia terdi am. Dan membiarkan mereka pergi tanpa komentar ap a-apa lagi.

Sambil mengerutkan dahi Nyonya Linda memandangi kepergian ketiga orang itu. Lalu ia tertegun, baru sadar melihat kedua daun pintu terbuka. Biasanya pada saat tutup tak pernah dibiarkan terbuka begitu. Orang yang keluar masuk selalu menutup pintu kembali, yang cukup dibuka sebagian saja.

Ketika akan menutup pintu, pandang Nyonya Linda tertuju tanpa sengaja ke arah kaca di sebelah kanannya. Tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetak. Ia melihat bayang-bayang seseorang di sebelah sana. Tapi samar-samar. Yang jelas bukan bayang-bayangnya sendiri. Bayang-bayang itu jauh, di dekat meja makan. Entah duduk, entah berdiri. Apakah itu tempat di mana Hok Kie duduk tempo hari? Dengan ketakutan yang amat sangat ia menjerit penuh kengerian. Tapi ia juga masih mampu memaksa diri untuk menoleh. "Kenapa, Tante?"

Nyonya Linda jadi lega bercampur marah. Si empunya suara itu adalah A Kiong. Dan melihat wajah A Kiong yang tanpa dosa hingga tampak dungu itu marahnya jadi memuncak. "Sialan lu! Ngapain di situ? Bikin kaget orang saja!" bentaknya tak kira-kira.

Wajah A Kiong yang pucat jadi memerah. Baru kali itu ia dibentak oleh Nyonya Linda. Ia jadi gugup dan bingung.

"Saya... saya nggak tahu, Tante," katanya ngeri.

"Sudah! Jangan dekat-dekat meja itu!"

A Kiong buru-buru menjauh. Ia tahu, sebaiknya jangan bertanya-tanya.

Masih takut-takut Nyonya Linda kembali menatap ke arah kaca. Tidak ada apa-apa di sana. Toh agak lama ia merenung. Sampai kemudian matanya membesar dan perasaannya menjadi dingin. Lalu ia bergegas menutup pintu.

Telepon berdering. Dengan sigap A Kiong berlari. Dan tak lama kemudian kembali. "Dari Oom Peter, Tante," katanya dengan wajah cerah, yakin hal itu dapat menyenangkan hati Nyonya Linda. Itu berarti ia tak akan kena bentak lagi.

"Bilang aku nggak ada!"

A Kiong terkejut. "Tapi... tapi saya sudah bilang ada."

Nyonya Linda melotot. "Emangnya kau anak kecil? Kau kan bisa bohong? Ayo, kasih tahu! Dan sebentar kalau ada telepon lagi dari dia, bilang aku nggak ada! Ngerti?"

Tanpa bertanya lagi A Kiong kembali berlari. Di belakangnya Nyonya Linda berjalan pelan-pelan. Tubuhnya terasa gemetar.



-XIII-



Hanya sepuluh nama dan alamat orang pinter yang diperoleh Henson. Dan itulah yang dibawanya ke kantor Peter. Tapi Peter menerimanya tanpa semangat. Aku sudah tidak memerlukannya lagi sekarang. Sudah terlalu lama. Coba kulihat. Ah, ada nama Mama Gembrot. Dari sekian banyak nama ini kiranya hanya yang satu itulah yang paling berarti. Dialah konsultan SANG NAGA, bukan? Aku juga sudah menggunakan jasanya untuk merancang bangunan restoranku. Surprise, ya? Aku memang terus terang. Tak ada keberatan apa-apa. Setiap orang punya rezekinya sendiri-sendiri. Cuma tergantung bagaimana mengolahnya."

Henson cuma mengangguk. Ia memang kecewa. Kesepuluh nama dan alamat itu tidak diperolehnya dengan kemudahan. Tapi tentunya ia tak bisa memaksa. Segera ia mengulurkan tangannya untuk meminta kembali kertas catatannya. Tapi Peter tidak menyerahkan. "Walaupun tidak kuperlukan lagi sekarang, tapi untuk nanti siapa tahu. Bagaimanapun aku sudah memesan dan tidak pernah membatalkan. Apakah lima puluh ribu cukup?" ia bertanya.

"Cukuplah, Pak," kata Henson, tak bisa lain. Untuk jasa semacam itu, nilainya memang relatif. Tak pula ada perjanjian sebelumnya. Mungkin itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Baginya sendiri, nama-nama itu tak punya nilai sama sekali.

Peter menyerahkan sejumlah uang tersebut dan Henson menerimanya dengan ucapan terima kasih, lalu bangkit untuk pamitan. Tugasnya sudah selesai.

"Ah, berbincang-bincanglah dulu. Kalau kau tidak sibuk tentunya," kata Peter sambil melambaikan tangannya. Lalu menyambung, "Tapi kupikir, kau tentu tidak sibuk. SANG NAGA masih tutup, bukan?"

Henson duduk kembali.

"Kulihat kau akrab dengan Asrul, orang koran itu," Peter mulai. "Padahal aku tahu, dia pun akrab dengan polisi. Karena itu mungkin kau tahu tentang perkembangan peristiwa itu."

"Peristiwa mana, Pak?"

"Ah, kematian Tuan Liong, tentu saja. Habis yang mana lagi?"

"Apakah Bapak belum tahu?"

"Belum. Ceritakanlah. Aku sangat tertarik."

"Kematian Tuan Liong positif disebabkan oleh keracunan arsen, Pak. Hasil otopsi menyatakan demikian."

"Oh, jadi bukan racun tikus yang ada di sakunya itu?"

"Sama saja. Pak. Racun tikus itu mengandung arsen."

"Jadi betul dong dia bunuh diri."

"Mungkin, Pak." Mungkir? Jadi belum pasti? Maksudku, polisi belum merasa pasti?"

"Habis tidak ada saksi yang melihat perbuatan-nya, Pak."

Peter tertawa. "Ah,
Read more about Cinta Sang Naga - 30



Related read :

Cinta Sang Naga - 7
Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer
Sang Pengintai - 10
Cerita Misteri | Sang Pengintai | Serial Kelompok 2 & 1 | Sang Pengintai | Cersil Sakti | Sang Pengintai pdf 5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee Lestari
Sang Pengintai - 8
Cerita Misteri | Sang Pengintai | Serial Kelompok 2 & 1 | Sang Pengintai | Cersil Sakti | Sang Pengintai pdf 5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee Lestari
Sang Pengintai - 5
Cerita Misteri | Sang Pengintai | Serial Kelompok 2 & 1 | Sang Pengintai | Cersil Sakti | Sang Pengintai pdf Gaung Keheningan - Eloquent Silence - Sandra Brown Gue Anak SMA - Benny Rhamdany Jingga